Rumah kerap kali diasosiasikan dengan tempat tinggal, di mana kita dapat merasa tenang setelah melalui aktivitas sehari-hari, aman dari segala bentuk ancamaneksternal, dan nyaman untuk beristirahat sembari mengisi ulang daya untuk esok hari.
Berbicara soal rumah, ya, aku mempunyai rumah. Punya cukup banyak, malah. Semarang, Klaten, dan Yogyakarta merupakan tiga tempat di mana aku biasa singgah sekarang. Ketiganya memiliki kekhasannya masing-masing yang selalu membuatku rindu saat tidak berada di sana.
Apa yang bisa dirindukan dari Semarang? Tentu banyak. Aku rindu panas mataharinya yang sangat terik, menyengat, hingga dapat membakar lapisan kulit terdalam. Rindu kipasku yang tidak berguna itu, yang ketika dinyalakan angin yang dihasilkan ikut panas juga seperti nafas naga. Waktu malam hari, jendela kamarku sering dibuka untuk mempersilakan angin masuk, tapi ya tetap saja tidak ada yang berubah. Tetap panas. Dapat aku jamin, tabir surya dengan tingkat SPF setinggi apapun tidak mampu mengalahkan garangnya matahari kota ini saat siang hari.
Pernyataan di atas memang benar adanya. Apalagi kalau sedang berada di Klaten atau Yogya. Wah, rasanya ingin sekali membagi sedikit panas matahari di Semarang agar hawa di Klaten dan Yogya bisa lebih hangat. Ya… beginilah nasib orang yang tidak tahan dingin dan juga panas.
Sebenarnya aku bingung juga apa yang aku rindukan dari kota ini. Tidak banyak hal spesifik yang membuatku ingin untuk kembali ke sana. Kadang aku ingin naik BRT lalu jalan-jalan ke kawasan Kota Lama bersama sahabat kakak perempuanku. Ya, mungkin sebagian dari kalian membatin “Basic banget di Semarang tapi mainnya di situ-situ aja. Lawang Sewu, Kota Lama mah udah biasa!” Aku bingung juga menanggapinya. Kebetulan aku anak rumahan dan tinggal di Semarang bagian bawah, jadi maklum saja kalo mainnya di tempat yang ramai dikunjungi wisatawan. Lagipula, apa salahnya? Setidaknya aku bisa menjepret satu atau dua gambar untuk untuk dimasukkan ke feeds, hehe.
Lalu, aku ingin juga makan jajanan yang dijual bapak-bapak yang biasa lewat di depan rumah. Contohnya seperti mi kopyok — makanan lain yang aku suka selain soto (soal ini akan dibahas di bagian lain), pempek, atau ronde (yang sebenarnya gak se-enak itu). Tidak peduli seberapa kenyang aku, jika bapak yang jual mi kopyok itu lewat, maka aku akan bergegas pergi dengan kecepatan penuh dari lantai dua rumahku ke bawah, mengambil piring, lalu menghampiri bapak tersebut dengan secepat kilat seraya berseru, “Pak, tumbas!” (terjemahan: “Pak, beli!”
Aku juga rindu dengan sudut rumahku yang biasa dipakai keluarga atau teman-temanku untuk berkumpul dan bercengkerama. Biasanya aku sendiri menggunakan ruangan itu untuk bersantai sebentar setelah pulang sekolah. Kamarku berada di lantai dua dan aku tidak punya tenaga untuk naik setelah seharian kerja rodi di sekolah. Kalau tidur siang di sana dengan posisi pintu terbuka, mustahil bisa tertidur. Tahu kan alasannya apa?
Klaten sebenarnya kampung halaman ibuku yang sering kami sekeluarga kunjungi ketika liburan atau hari raya. Namun, sejak Mbah berpulang, kami jadi jarang ke sana karena bingung siapa yang ingin ditemui di sana.
Yang aku suka dari Klaten adalah cuacanya yang tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin (aku kurang tahu kalau di bagian kota, ya). Lokasi rumah yang mendukung juga menjadi salah satu faktor aku senang menyambanginya dibanding Semarang yang bak neraka bocor itu. Letak rumahnya yang berada di paling ujung ditambah bersebelahan langsung dengan sawah, menjadikannya kombinasi paling sempurna untuk mencari ketenangan yang tidak aku dapatkan di kota kelahiranku atau kota di tempat aku menuntut ilmu.
Dari halaman rumah, aku bisa melihat pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang terlihat seperti menyatu dari kejauhan.
Selain itu, aku merasa kalau kebutuhan pokokku khususnya makanan terpenuhi dengan baik. Bulik selalu memasakkanku makanan sesuai keinginanku agar aku betah berlama-lama di sana. Ngomong-ngomong, bulikku ini memang pandai memasak. Masakannya bisa membuatku geleng-geleng kepala saking lezatnya.
Di sana pun tidak sulit untuk menemukan makanan yang murah dan juga enak. Bayangkan, aku bisa mendapat dua mangkok soto, dua gelas minuman, lima buah gorengan, dan dua mangkok sup buah dengan harga kurang dari dua puluh lima ribu rupiah. Harga yang sungguh tidak masuk akal untuk rasa yang tidak mengecewakan. Oh iya, aku lupa menyebutkan nasi goreng Sub Terminal Delanggu yang selalu aku cari ketika datang ke sana.
Tak hanya itu, di depan rumah ada kebun yang cukup luas dan rindang yang dipergunakan untuk api unggun atau membakar lele di malam hari.
Intinya, Klaten adalah rumah yang tepat untuk disinggahi kala aku ingin jauh dari riuh dan bisingnya dunia luar.
Sedangkan di rumah baru yang sudah aku tempati selama 8 bulan, ia tidak (atau belum) begitu memberikan sesuatu yang berkesan. Satu-satunya hal yang berkesan dan membuatku dapat menyebut Yogyakarta sebagai salah satu rumahku adalah teman-temanku. Aku serasa mendapatkan rumah baru saat diterima menjadi bagian dari Departemen Ilmu Komunikasi UGM yang sudah aku impikan sejak lama. Lingkungan, suasana, dan teman baru yang menyambutku dengan baik merupakan hadiah terbaik bagiku tahun lalu.
Tapi… bukan itu yang ingin aku bicarakan di sini.
Sejak 2020 yang merupakan tahun pertamaku merasakan kehilangan, makna rumah sudah berganti untukku. Rumah bukan lagi soal fungsi fisiknya yang terlihat. Lebih dari itu. Arti rumah lebih dari sekadar tempat yang melindungiku dari panas dan hujan. Mungkin seiring kedewasaanku bertambah, maknanya akan berubah lagi. Tapi untuk sekarang, rumah adalah tentang keluarga. Rumah adalah tentang kebersamaan.
Dan aku tidak punya keduanya. Rumahku hanya sebatas rumah. Aku tidak punya tempat pulang yang sesungguhnya.
Aku sendirian.
Tidak lagi kudengar suara ibu memasak di dapur, bapak yang tidak pernah absen memanggilku untuk makan, dua kakak yang selalu menggoda dan menoyor kepalaku, omelan ibu terhadap bapak yang hanya dibalas dengan diam, ibu yang senantiasa mengarahkanku, bapak yang tidak pernah membiarkanku pergi sendirian, Mbak yang selalu memarahiku, Mas yang bersedia mengajariku matematika walaupun dengan emosi, meja makan yang ramai, cerita dan candaan sebelum tidur, kegiatan di luar saat ada yang berulang tahun.
Masa-masa itu sudah berlalu.
Semuanya hilang. Semuanya sudah jauh dari jangkauanku.
— A.
[2/31]